Mendengar Pulau
Buru, bulu kuduk berdiri. Di sana, ribuan orang dibuang dan disiksa, karena
dituduh oleh pemerintah Orde Baru sebagai antek partai komunis yang paling
dimusuhi oleh rezim tersebut selama kekuasaannya. Di pulau yang dirimbuni
pohon-pohon minyak kayu putih itu pula, seorang punggawa sastrawan bangsa,
Pramoedya Ananta Toer di buang karena ketajaman karya-karya sastranya dianggap
dapat merobek kekuasaan Soeharto kala itu. Kini Pulau itu telah menjadi salah
satu kabupaten di Propinsi Maluku.
Untuk menuju ke Pulau Buru
kita harus menggunakan kapal laut atau pesawat kecil dari Kota Ambon. Setibanya
di Pelabuhan Buru apabila menggunakan kapal laut maka siapapun yang datang akan
merasakan suasana tawar menawar, tetapi bukan tawar menawan jual beli barak
melainkan para buruh angkut yang sibuk menawarkan jasanya. Deburan ombak pantai
yang kecil seperti riaknya air danau seolah menyambut siapapun yang datang
berkunjung, deburan ombak tersebut seakan tidak mengetahui betapa letih
mengapung di atas kapal Fery semalaman penuh. Meski cuaca gelombang tidak besar, perjalanan
12 jam begitu melelahkan. Berbagi oksigen dengan sekitar 150 penumpang di kapal
Fery yang super mungil membuat gerah
dan panas. Tetapi itulah kenikmatan yang yang akan anda rasakan, bersusah payah
menuju pulau Buru dan sesampainya disana anda akan di sambut dengan keindahan
daratan dan laut yang akan di iringi oleh ikan lumba-lumba yang berada di depan kapal yang ditumpangi.
Di pulau Buru, pohon minyak
kayu putih tumbuh liar dengan sendirinya, seperti ilalang dan rumput. Jika
membiarkan tanah tidak tergarap, pohon minyak kayu putih tumbuh sendiri. Di
kala musim kemarau, pohon-pohon minyak kayu putih yang mengering acap terbakar.
Tapi terbakarnya pohon tersebut juga membawa keberuntungan. Pohon-pohon yang
sudah terbakar, nanti minyaknya jadi lebih banya. Memang, terlihat banyak pohon
menghitam bekas terbakar. Lahan-lahan itu seperti tak bertuan Tidak terurusi.
Terlintas dalam benak, betapa
kaya negeri ini.Begitu banyak khasanah di Pulau Buru yang belum terjamah oleh
kerasnya kehidupan modern. Kekayaan alam yang besar dan kehidupan yang damai.
Tida ada rasa sedikitpun nuansa bekas
Pulau pembuangan tapol/napol apalagi nuansa konflik bersaudara di Maluku yang
sempat berimbas di sana. Bagi warga setempat, tamu bagaikan raja. Beberapa pekan sekali, teradapat pasar
yang disebut pasar malam Lambelu. Nama tersebut sedikit ganjil, karena Lambelu
adalah sebuah nama kapal besar yang mengangkut penumpang dari Jawa, Sulawesi,
Ambon, hingga Papua. Para penjual umumnya berasal dari Sulawesi. Mereka
menafaatkan kapal Lambelu yang ke Papua yang melintasi Namlea. Dua hari kemudian, kapal besar itu
akan singgah kembali di Namlea. Para
pedagang-pedagang pun akan bergegas kambali pulang ke asal mereka masing-masing
menggunakan kapal Lambelu. Karena itulah, pasar malam tersebut dinamakan
Lambelu dan hanya beroperasi selama dua malam.
Untuk masalah gizi, masyarakat
sekitar Namlea terjamin. Ikan laut sudah jadi makanan sehari-hari dan biasa. Bagi
masyarakat makan tanpa ikan laut, santapan seolah kurang lengkap. Bahkan, ikan
sebesar lengan bisa dapat Rp 10 ribu.
Saksi Kekejaman Rezim
Pulau Buru sangat identik dengan penilaian orang
sebagai tempat pembuangan tahanan politik (tapol).. Rugi rasanya datang
jauh-jauh ke pulau Buru jika tidak mengunjugi lokasi tapol/napol. di Pulau inilah
tempat dibuangnya sekitar 12 ribu tapol peristiwa 1965 pada tahun 1969.Mereka
yang dibuang di Pulau Buru disiksa dan disakiti. Jauh dari keluarga dan distigmakan
sebagai PKI dan pengkhianat Negara. Ribuan
tahanan yang dibuang tersebut, dipaksa untuk membabat hutan menjadi lahan
sawah, jembatan, merambah jalan. Tahun-tahun pertama pembuangan golongan B,
pulau Buru masih hutan lebat dan gelap. Tapol
yang masuk golongan B mendapat hukuman dengan dibuang ke Pulau Buru. Golongan
A, dapat dipastikan tidak hidup. Sementara golongan C, lebih ringan. Terakhir
pembuangan massal tapol/napol ke Pulau Buru yang terjadi tiga kali gelombang
terjadi pada tahun 1971.
Walau mereka dicampur dengan
masyarakat yang transmigran, pada rezim Orba tapol/napol mendapat kawalan yang
sangat keras. Untuk lebih
merasakan bagaimana kehidupan para tapol pada zaman orde baru ada beberapada
desa yang disebut dengan istilah unit. Biasanya, orang-orang di Pulau Buru
menyebut lokasi pembuangan para tapol/napol dengan sebutan Unit. Jumlah unit
cukup banyak dan berjarak satu sama lain sekitar 4-5 kilometer. Ada juga unit
pembuangan yang sampai sekarang masih disebut Mako (Markas Komando). Unit-unit tersebut tidak berurutan.
Meski ada Unit empat belum tentu ada unit tiga, umpamanya begitu.
Tempat-tempat tersebut kini
sudah punya nama daerah sendiri. Misal, unit empat masuk wilayah Savanajaya,
ada juga Grandeng. Walau begitu, warga Buru kadang masih tetap menyebutnya
unit. Dulu, para tapol/napol dicampur dengan para transmigran. Tapi, tapol/napol
tetap berada dalam pengawasan tentara. Jalan
yang berkelok-kelok menuju lokasi terdekat, unit empat, Savanajaya. Jarak
tempuh dari Namlea memakan sekitar satu jam. Sepanjang perjalanan hanya
terlihat bukit-bukit gundul yang dirimbuni pohon minyak kayu putih yang mulai
mengering. Sesekali indahnya laut Pulau Buru terlihat jelas ketika melintasi
ketinggian.
Mobil angkutan umum cukup
langka. Alat transportasi darat lebih banyak menggunakan jasa ojek. Uniknya, di
sana terdapat becak. Karenanya,
jika ingin mengelilingi Pulau Buru, di Namlea terdapat jasa rental mobil.
“Disini nyewa oto 500 ribu per-hari”. Apabila anda sudah berada di unit empat
atau Savanajaya, anda mungkin akan merasa herankarena tidak seperti yang
dibayangkan. Tempat pembuangan itu cukup maju dan ramai. Jalannya sudah hot
mix. Sawah disekitar di pinggir jalan rumah-rumah sangat luas, sejauh mata
memandang. Di sini, terdapat pasar yang kelihatannya baru dibangun, tapi
nampaknya belum berfungsi maksimal.
Di savanajaya ada seseorang
yang sudah paruh baya yang dulu merupakan bekas tapol/napol yang pernah dia
ceritakan bertetangga dengan Pramoedya Ananta Toer. Siapapun yang datang berkunjung
ke kediamannya akan disambut dengan hangat penuh semangat. Dia ialah pak Daryun.
Pada siapa saja yang
ingin mendengar kisah-kisah di zaman itu, Pak Daryun akan selalumenceritakan
memori sejarahnya dengan semangat.
Pak Daryun, salah satu dari 10
ribu tapol/napol yang dibuang oleh rezim militer Soeharto karena dituduh
terlibat dalam pemberontakan tahun 1965. Sejak di buang ke Buru, dia tidak
pernah pulang ke kampung halamannya di Bandung, Jawa Barat. Pak Daryun dibuang
sekitar usia 27 tahun. Siksaan selalu diterimanya. Mereka dipaksa membuat jalan,
jembatan, dan lainnya. Banyak nyawa melayang. Yang paling banyak mendapat
siksaan hingga tewas berasal dari tapol/napol yang berusia muda. Perlakuan itu,
mematri trauma mendalam. Karena trauma akan kekejaman rezim itu sehingga beliau
takut bertutur lepas soal sejarah 1965, seperti berhadapan dengan rezim Orba.
Dengan logat Sunda yang masih
terasa, kawan Pramudya tersebut banyak menuturkan sejarah kelam bangsa. Dia
menegaskan dirinya sebagai pengagum Soekarno. “Saya orang yang berada di Bawah
Bendera Revolusi,” menegaskan berkali-kali kepada kami. Kendati demikian, Pak Daryun yang
terlihat bugar diusianya yang ke-62 itu, toh tetap dibuang ke Pulau Buru hingga
kini beliau dianugerahi dua anak hasil dari pernikahannya pada tahun
1982.
Ada cerita menarik dari pak
Daryun tentang keberanian Pramoedya Ananta Toer. Suatu hari, Jenderal Sumitro
datang ke barak-barak tapol/napol. Semua orang berdiri hormat, tapi Pram
memilih duduk santai sembari beteriak, “Wahai Jenderal, apa yang kamu cari,
lepaskan seragammu yang berlumuran darah itu !”. Para pengawal siagap ingin
menghajar Pram, tapi Sumitro memerintahkan agar Pram dibiarkan saja karena
menurutnya Pram sudah tua dan sudah bau tanah.“
Sumbangsih para tapol/napol
bagi kemajuan Pulau Buru demikian besar. Mereka umumnya berasal dari kalangan
terdidik, cerdas, dan memiliki wawasan kemadiran bangsa yang tangguh. Kini dari
mereka ada yang dipekerjakan Pemda seperti menjadi arsitek. Bahkan ada yang
jadi dewan daerah. “Jika tidak ada tapol/napol, Pulau Buru tidak akan seperti
saat ini”.
Aset Sejarah yang Terabaikan
Banyak tempat-tempat sejarah yang merekam jejak-jejak
tapol/napol di pulau Buru, tapi sudah tidak terurusi. Kamp-kamp pembuangan yang
kini sudah menjadi desa pemukiman seperti desa-desa lainnya sebanarnya
merupakan aset sejarah yang sangat berharga. Tapi sayang hal tersebut belum
sepenuhnya disadari oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Rekaman sejarah kekejaman rezim yang
tedapat di Pulau Buru dapat dijadikan pelajaran bagi anak bangsa untuk lebih
dekat dengan sejarah bangsanya. Ada
beberapa tugu tempat pembantaian tapol/napol. Salah satunya adalah tempat
pertemuan tapol/napol di Savanajaya yang seluruhnya terbuat dari kayu. Tempat yang berdesain panggung
tersebut kurang lebih tingginya 5-10 meter dengan lebar 10 meter dan panjang
sekitar 50 meter. Tempat tersebut seolah menyuguhkan rasa dan nuansa kekerasan,
kengerian, dan pederitaan yang dialami para tapol/napol. Terasa begitu dekat.
Membayangkan kekerasan yang mereka alami akibat
kekejaman sebuah rezim Orba akan membuat bulu kuduk menjadi merinding. Kasihan mereka yang dibuang tidak berdosa, tanpa
pengadilan untuk memperoleh keadilan, disiksa, dicerca, hingga dijauhi keluarga
dan masyarakat..
Pulau Buru akan memberi
kesan yang tidak akan pernah terlupakan untuk anda yang mengunjunginya, karena
disana menyimpan ribuan sejarah yang tidak boleh dilupakan dan terlupakan oleh
seluruh generasi bangsa ini. Sebuah saksi kekerasan dan kekejaman rezim yang
tidak boleh terulang oleh pewaris pemimpin bangsa sekarang dan yang akan datang.
Pulau Buru akan selalu merindukan putra-putri bangsa yang dapat mengubah bangsa
ini menjadi lebih baik, semangat juang tapol untuk tetap menjalani kehidupannya
menjadi harta yang sangat berharga untuk semua generasi penerus bangsa terutama
bagi saya sebagai “PUTRA BURU”.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan
hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk
keabadian.”
― Pramoedya Ananta Toer
― Pramoedya Ananta Toer
Inilah yang membuat saya
menuliskan kisah ini, pramoedya ananta toer merupakan sosok yang tak boleh kita
lupakan. Sejarah merupakan suatu harta karun yang sangat berharga dan perlu
untuk dijaga sampai kapanpun, jangan biarkan harta itu hilang di telan zaman yang
modern seperti sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar