Senin, 06 Januari 2014

Sejarahmu yang tersimpan

Mendengar Pulau Buru, bulu kuduk berdiri. Di sana, ribuan orang dibuang dan disiksa, karena dituduh oleh pemerintah Orde Baru sebagai antek partai komunis yang paling dimusuhi oleh rezim tersebut selama kekuasaannya. Di pulau yang dirimbuni pohon-pohon minyak kayu putih itu pula, seorang punggawa sastrawan bangsa, Pramoedya Ananta Toer di buang karena ketajaman karya-karya sastranya dianggap dapat merobek kekuasaan Soeharto kala itu. Kini Pulau itu telah menjadi salah satu kabupaten di Propinsi Maluku.
Untuk menuju ke Pulau Buru kita harus menggunakan kapal laut atau pesawat kecil dari Kota Ambon. Setibanya di Pelabuhan Buru apabila menggunakan kapal laut maka siapapun yang datang akan merasakan suasana tawar menawar, tetapi bukan tawar menawan jual beli barak melainkan para buruh angkut yang sibuk menawarkan jasanya. Deburan ombak pantai yang kecil seperti riaknya air danau seolah menyambut siapapun yang datang berkunjung, deburan ombak tersebut seakan tidak mengetahui betapa letih mengapung di atas kapal Fery semalaman penuh.  Meski cuaca gelombang tidak besar, perjalanan 12 jam begitu melelahkan. Berbagi oksigen dengan sekitar 150 penumpang di kapal Fery yang super mungil membuat gerah dan panas. Tetapi itulah kenikmatan yang yang akan anda rasakan, bersusah payah menuju pulau Buru dan sesampainya disana anda akan di sambut dengan keindahan daratan dan laut yang akan di iringi oleh ikan lumba-lumba yang  berada di depan kapal yang ditumpangi.
Di pulau Buru, pohon minyak kayu putih tumbuh liar dengan sendirinya, seperti ilalang dan rumput. Jika membiarkan tanah tidak tergarap, pohon minyak kayu putih tumbuh sendiri. Di kala musim kemarau, pohon-pohon minyak kayu putih yang mengering acap terbakar. Tapi terbakarnya pohon tersebut juga membawa keberuntungan. Pohon-pohon yang sudah terbakar, nanti minyaknya jadi lebih banya. Memang, terlihat banyak pohon menghitam bekas terbakar. Lahan-lahan itu seperti tak bertuan Tidak terurusi.
Terlintas dalam benak, betapa kaya negeri ini.Begitu banyak khasanah di Pulau Buru yang belum terjamah oleh kerasnya kehidupan modern. Kekayaan alam yang besar dan kehidupan yang damai. Tida ada rasa sedikitpun nuansa bekas Pulau pembuangan tapol/napol apalagi nuansa konflik bersaudara di Maluku yang sempat berimbas di sana. Bagi warga setempat, tamu bagaikan raja. Beberapa pekan sekali, teradapat pasar yang disebut pasar malam Lambelu. Nama tersebut sedikit ganjil, karena Lambelu adalah sebuah nama kapal besar yang mengangkut penumpang dari Jawa, Sulawesi, Ambon, hingga Papua. Para penjual umumnya berasal dari Sulawesi. Mereka menafaatkan kapal Lambelu yang ke Papua yang melintasi Namlea. Dua hari kemudian, kapal besar itu akan singgah kembali di Namlea. Para pedagang-pedagang pun akan bergegas kambali pulang ke asal mereka masing-masing menggunakan kapal Lambelu. Karena itulah, pasar malam tersebut dinamakan Lambelu dan hanya beroperasi selama dua malam.
Untuk masalah gizi, masyarakat sekitar Namlea terjamin. Ikan laut sudah jadi makanan sehari-hari dan biasa. Bagi masyarakat makan tanpa ikan laut, santapan seolah kurang lengkap. Bahkan, ikan sebesar lengan bisa dapat Rp 10 ribu.
Saksi Kekejaman Rezim

Pulau Buru sangat identik dengan penilaian orang sebagai tempat pembuangan tahanan politik (tapol).. Rugi rasanya datang jauh-jauh ke pulau Buru jika tidak mengunjugi lokasi tapol/napol. di Pulau inilah tempat dibuangnya sekitar 12 ribu tapol peristiwa 1965 pada tahun 1969.Mereka yang dibuang di Pulau Buru disiksa dan disakiti. Jauh dari keluarga dan distigmakan sebagai PKI dan pengkhianat Negara. Ribuan tahanan yang dibuang tersebut, dipaksa untuk membabat hutan menjadi lahan sawah, jembatan, merambah jalan. Tahun-tahun pertama pembuangan golongan B, pulau Buru masih hutan lebat dan gelap. Tapol yang masuk golongan B mendapat hukuman dengan dibuang ke Pulau Buru. Golongan A, dapat dipastikan tidak hidup. Sementara golongan C, lebih ringan. Terakhir pembuangan massal tapol/napol ke Pulau Buru yang terjadi tiga kali gelombang terjadi pada tahun 1971.
Walau mereka dicampur dengan masyarakat yang transmigran, pada rezim Orba tapol/napol mendapat kawalan yang sangat keras. Untuk lebih merasakan bagaimana kehidupan para tapol pada zaman orde baru ada beberapada desa yang disebut dengan istilah unit. Biasanya, orang-orang di Pulau Buru menyebut lokasi pembuangan para tapol/napol dengan sebutan Unit. Jumlah unit cukup banyak dan berjarak satu sama lain sekitar 4-5 kilometer. Ada juga unit pembuangan yang sampai sekarang masih disebut Mako (Markas Komando). Unit-unit tersebut tidak berurutan. Meski ada Unit empat belum tentu ada unit tiga, umpamanya begitu.
Tempat-tempat tersebut kini sudah punya nama daerah sendiri. Misal, unit empat masuk wilayah Savanajaya, ada juga Grandeng. Walau begitu, warga Buru kadang masih tetap menyebutnya unit. Dulu, para tapol/napol dicampur dengan para transmigran. Tapi, tapol/napol tetap berada dalam pengawasan tentara. Jalan yang berkelok-kelok menuju lokasi terdekat, unit empat, Savanajaya. Jarak tempuh dari Namlea memakan sekitar satu jam. Sepanjang perjalanan hanya terlihat bukit-bukit gundul yang dirimbuni pohon minyak kayu putih yang mulai mengering. Sesekali indahnya laut Pulau Buru terlihat jelas ketika melintasi ketinggian.
Mobil angkutan umum cukup langka. Alat transportasi darat lebih banyak menggunakan jasa ojek. Uniknya, di sana terdapat becak. Karenanya, jika ingin mengelilingi Pulau Buru, di Namlea terdapat jasa rental mobil. “Disini nyewa oto 500 ribu per-hari”. Apabila anda sudah berada di unit empat atau Savanajaya, anda mungkin akan merasa herankarena tidak seperti yang dibayangkan. Tempat pembuangan itu cukup maju dan ramai. Jalannya sudah hot mix. Sawah disekitar di pinggir jalan rumah-rumah sangat luas, sejauh mata memandang. Di sini, terdapat pasar yang kelihatannya baru dibangun, tapi nampaknya belum berfungsi maksimal. 
Di savanajaya ada seseorang yang sudah paruh baya yang dulu merupakan bekas tapol/napol yang pernah dia ceritakan bertetangga dengan Pramoedya Ananta Toer. Siapapun yang datang berkunjung ke kediamannya akan disambut dengan hangat penuh semangat. Dia ialah pak Daryun.
 Pada siapa saja yang ingin mendengar kisah-kisah di zaman itu, Pak Daryun akan selalumenceritakan memori sejarahnya dengan semangat.
Pak Daryun, salah satu dari 10 ribu tapol/napol yang dibuang oleh rezim militer Soeharto karena dituduh terlibat dalam pemberontakan tahun 1965. Sejak di buang ke Buru, dia tidak pernah pulang ke kampung halamannya di Bandung, Jawa Barat. Pak Daryun dibuang sekitar usia 27 tahun. Siksaan selalu diterimanya. Mereka dipaksa membuat jalan, jembatan, dan lainnya. Banyak nyawa melayang. Yang paling banyak mendapat siksaan hingga tewas berasal dari tapol/napol yang berusia muda. Perlakuan itu, mematri trauma mendalam. Karena trauma akan kekejaman rezim itu sehingga beliau takut bertutur lepas soal sejarah 1965, seperti berhadapan dengan rezim Orba.  
Dengan logat Sunda yang masih terasa, kawan Pramudya tersebut banyak menuturkan sejarah kelam bangsa. Dia menegaskan dirinya sebagai pengagum Soekarno. “Saya orang yang berada di Bawah Bendera Revolusi,” menegaskan berkali-kali kepada kami. Kendati demikian, Pak Daryun yang terlihat bugar diusianya yang ke-62 itu, toh tetap dibuang ke Pulau Buru hingga kini beliau dianugerahi dua anak hasil dari pernikahannya pada tahun 1982. 
Ada cerita menarik dari pak Daryun tentang keberanian Pramoedya Ananta Toer. Suatu hari, Jenderal Sumitro datang ke barak-barak tapol/napol. Semua orang berdiri hormat, tapi Pram memilih duduk santai sembari beteriak, “Wahai Jenderal, apa yang kamu cari, lepaskan seragammu yang berlumuran darah itu !”. Para pengawal siagap ingin menghajar Pram, tapi Sumitro memerintahkan agar Pram dibiarkan saja karena menurutnya Pram sudah tua dan sudah bau tanah.“
Sumbangsih para tapol/napol bagi kemajuan Pulau Buru demikian besar. Mereka umumnya berasal dari kalangan terdidik, cerdas, dan memiliki wawasan kemadiran bangsa yang tangguh. Kini dari mereka ada yang dipekerjakan Pemda seperti menjadi arsitek. Bahkan ada yang jadi dewan daerah. “Jika tidak ada tapol/napol, Pulau Buru tidak akan seperti saat ini”.

Aset Sejarah yang Terabaikan

Banyak tempat-tempat sejarah yang merekam jejak-jejak tapol/napol di pulau Buru, tapi sudah tidak terurusi. Kamp-kamp pembuangan yang kini sudah menjadi desa pemukiman seperti desa-desa lainnya sebanarnya merupakan aset sejarah yang sangat berharga. Tapi sayang hal tersebut belum sepenuhnya disadari oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Rekaman sejarah kekejaman rezim yang tedapat di Pulau Buru dapat dijadikan pelajaran bagi anak bangsa untuk lebih dekat dengan sejarah bangsanya. Ada beberapa tugu tempat pembantaian tapol/napol. Salah satunya adalah tempat pertemuan tapol/napol di Savanajaya yang seluruhnya terbuat dari kayu. Tempat yang berdesain panggung tersebut kurang lebih tingginya 5-10 meter dengan lebar 10 meter dan panjang sekitar 50 meter. Tempat tersebut seolah menyuguhkan rasa dan nuansa kekerasan, kengerian, dan pederitaan yang dialami para tapol/napol. Terasa begitu dekat.
Membayangkan kekerasan yang mereka alami akibat kekejaman sebuah rezim Orba akan membuat bulu kuduk menjadi merinding. Kasihan  mereka yang dibuang tidak berdosa, tanpa pengadilan untuk memperoleh keadilan, disiksa, dicerca, hingga dijauhi keluarga dan masyarakat..
Pulau Buru akan memberi kesan yang tidak akan pernah terlupakan untuk anda yang mengunjunginya, karena disana menyimpan ribuan sejarah yang tidak boleh dilupakan dan terlupakan oleh seluruh generasi bangsa ini. Sebuah saksi kekerasan dan kekejaman rezim yang tidak boleh terulang oleh pewaris pemimpin bangsa sekarang dan yang akan datang. Pulau Buru akan selalu merindukan putra-putri bangsa yang dapat mengubah bangsa ini menjadi lebih baik, semangat juang tapol untuk tetap menjalani kehidupannya menjadi harta yang sangat berharga untuk semua generasi penerus bangsa terutama bagi saya sebagai “PUTRA BURU”.

“Menulis adalah sebuah keberanian...” 
 Pramoedya Ananta Toer
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” 
 Pramoedya Ananta Toer

Inilah yang membuat saya menuliskan kisah ini, pramoedya ananta toer merupakan sosok yang tak boleh kita lupakan. Sejarah merupakan suatu harta karun yang sangat berharga dan perlu untuk dijaga sampai kapanpun, jangan biarkan harta itu hilang di telan zaman yang modern seperti sekarang ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar